Bagaimana Perpuisian Indonesia Melihat Barat?

|

Perkembangan perpuisian Indonesia tak dapat dihindari oleh keadaan zaman yang mengikutinya. Yang mana derasnya perkembangan gaya hidup masyarakat urban di abad 21 telah membawa pengaruhnya ke setiap individu secara umum. Dan kegelisahan eksistensi individu telah mencipta penyekat-penyekat dan individu pun berpacu di dalam kegelisahannya.Apa yang membuat individu masarakat urban begitu gelisah? Kegelisahan-kegelisahan yang dialami oleh individu tersebut disebabkan terjebak ritinitas: rutinitas yang membuat individu lupa pada apa yang dituju, sesungguhnya. Lalu apa pula yang dicari oleh individu masyarakat urban sebenarnya? Kodratnya setiap manusia memiliki sifat keilahian. Yang mana kerinduan kepada apa yang menentramkan, ketakjuban kepada Zat Yang Maha Besar adalah suatu hal yang lumrah di tengah-tengah kemelutnya zaman global.

Kejenuhan individu masarakat urban tentang apa yang dicapainya telah menggerakkan individu tersebut kepada tujuan yang hakiki. Di mana kebutuhan akan prestise, mode dan eksistensi yang menunjang kemapaman telah membuat individu terkucilkan oleh apa yang dimilikinya, dan individu pun lalu jenuh kepada apa yang dimilikinya itu. Tetapi bagaimanapun, untuk menghindari kejenuhan, maka individu pun mencipta kebutuhannya supaya lebih bermakna. Baik untuk dirinya maupun sebagai produk untuk masyarakat umum.

Mengapa individu masyarakat urban lebih mengutamakan makna dari sekedar fungsi di setiap produknya? Ini tak lain dikarenakan manusia takut kesepian. Sebab kesepian-kesepian dan keterkucilan masyarakat urban telah membuatnya bertindak atas segala sesuatu menjadi bermakna. Dan pencarian makna atas segala sesuatu di atas dunia ini pun tak lain sebagai bentuk pencariannya dalam merindukan Tuhan.
Pencarian makna pada setiap apa pun oleh individu dikarenakan tidak lain mengalami kelimpahan. Baik kelimpahan materi maupun kelimpahan kedudukan dan prestise lainnya. Dan untuk memfungsikan setiap produk tersebut serta memiliki ketertarikan, maka individu pun mendesainkannya secara lebih bermakana pula.

Mengapa hal-hal yang saya tuliskan di atas sangat berkaitan dengan puisi? Untuk melihat perkembangan perpuisian Indonesia saat ini, tentunya kita berpatokan kepada Barat, yang mana Barat telah mengalami perekonomian dan teknologi yang pesat melebihi Indonesia. Tetapi mengapa hal itu berhubungan?

Untuk mengkaji pertanyaan di atas, tentunya kita harus kembali mempertanyakan apa itu puisi. Yang mana, puisi adalah bahasa dalam bentuk sastra yang universal. Puisi tidak membedakan tempat, adat-istiadat dan mampu melintasi ruang dan waktu. Dan oleh karena itu, tentunya kita sangat kekanak-kanakan jika membedakan puisi itu antara Barat dan Timur. Dan sebagai puisi yang baik, pastinya penyair dapat bersikap objektif. Yang mana, semakin jauh bentang waktu dan ruang dalam sebuah puisi, maka si penyair pun telah mengesampingkan sikap yang subjektif. Dan yang benar-benar diherankan bahwa dunia yang aneh ini serasa akrab dan dekat dengan kita, dan dunia yang sering kita isi rutinitas ini serasa asing dan bahkan kita tak mengenalinya sama sekali.

Sungguhpun begitu, namun di bawah matahari ini tidak ada yang baru, kata filsuf-filsuf yang lebih dulu memikirkannya. Dan oleh sebab itulah, maka puisi yang baik pasti akan menggali tentang makna-makna di dalam keseharian. Seperti misalnya sebuah dinding, pagar, tangga, bukankah itu sebagai rutinitas yang kita temui dan gunakan sehari-hari? Tetapi mengapa kita menjadi asing oleh benda-benda tersebut, bahkan tidak pernah sempat memikirkannya. Dan sebagai penyair yang berbakat, tentunya hal-hal tersebut tidak akan luput dari pengamatan.Namun sayangnya, hal-hal seperti ini sering memerangkap penyair. Yang mana gagasan yang terbersit dalam perenungan, seringkali tidak dibekali oleh tingkat berpikir yang tinggi. Malahan acap didominasi oleh luapan-luapan perasaan yang membuat karya itu dangkal. Sebab persyaratan penyair menulis puisi tidak lain harus rela tidak mengikutsertakan diri di dalam karyanya, dan setelahnya, makna di dalam karya diserahkan kepada pembaca.
Lalu karena itulah, sebagaimana yang kita ketahui, Barat merupakan tempat yang lebih dulu mencapai tingkat teknologi dan perekonomian berlimpah tanpa sempat menyerap makna tersebut. Oleh karena itu, apa salahnya bila kita menempuh cara tersebut: menafsirkan makna yang berlimpah. Sebab dari apa yang terjadi selama ini, individu masarakat Barat berpikirnya terlalu rasional, sebelumnya. Dan ketika era kelimpahan itu menyelimuti mereka, maka kejenuhan-kejenuhan individu pun terjadi. Lalu individu-individu Barat jadi rindu kepada yang sakral, kepurbaan, dan hal itu membuat individu Barat merasa lebih bermakna menjalani hidup. Tetapi apakah ini berpengaruh pula terhadap karya-karyanya, terutama puisi? Tentunya hal tersebut dapat saja kita pastikan. Di mana puisi-puisi Barat yang bertebaran belakangan ini, tidak lain selalu menggali ide tentang masa lalu. Baik puisinya yang dikemas itu berupa dongeng, mitologi, tetapi itu tak lain adalah sebagai yang bentuk "puisi epik" Bukankah puisi epik (Enuma Elish) sudah diawali 2000 SM di Babylonia? Puisi-puisi yang ditulis untuk memuja dewa-dewa oleh kaum pagan. Tetapi, mengapa hal itu dilakukan kembali oleh Barat?

Seperti yang ditulis di atas, bahwa ketika Barat mengalami era kelimpahan, maka pikirannya yang rasional selama ini telah merindukan sakralitas. Dan Timur (Indonesia) yang selama ini sudah digumuli oleh sakralitas, tentunya tidak menganggap hal itu sesuatu yang tabu. Tetapi, mengapa kita tidak menangkap keseharian yang dicapai oleh Barat tersebut dengan kesakralan kita? Dan tentunya kita tidak membutuhkan dongeng, fabel-fabel dan mitologi, bukan?Puisi atau apa pun yang berunsur mitos, sebetulnya tanpa disadari telah melemahkan rasionalitas. Sebab bagaimanapun, rasio juga salah satu intuisi yang dirahmatkan kepada orang yang telah dipilih-Nya. Dan hal-hal yang berkaitan dengan mitologi, lagi-lagi sangat dikhawatirkan akan diagung-agungkan dan dipuja-puja oleh manusia. Itu sungguh menyesatkan bagi orang yang telah menganut agama. Seperti kitab-kitab yang ditulis oleh manusia sebagai perumusan dasar berpikirnya dalam menempuh hidup yang baik dan benar, namun bagi pengikutnya telah dijadikan sebagai jalan petunjuk hidup. Bahkan telah membabtis dan mengakui manusia itu sebagai tuhan, dewa ataupun lainnya. Padahal yang ditulis oleh manusia tersebut di dalam kitabnya hanyalah berupa karya sastra ataupun filsafat. Dan sebagai manusia yang beragama, tentunya kita telah berperilaku zalim kepada Penguasa Semesta.

Tidak baiknya menulis puisi berdasarkan mitologi, tentunya kita telah melakukan persaingan terhadap kitab suci-kitab suci yang telah ada selama ini. Selain telah mencipta dan menyebar kebodohan terhadap manusia, kita juga telah melumpuhkan rasionalitas dengan takhyul-takhyul tersebut di dalam puisi. Dan tanpa kita sadari kita telah melakukan kemunduran peradaban? Di manakah letak pertanggungjawaban sebagai penyair? Yang mana pengabdian penyair tidak lain untuk menjunjung kemajuan peradaban itu sendiri. Baik kemajuan spritual ataupun pembangunan mental yang mencerahkan.
Besarnya pengaruh penyair dalam memberi pencerahan mental di zaman global ini, tidak lain dikarenakan kerutinan dan kegelisahan individu masarakat urbanlah yang telah menderanya untuk mengobati kegelisahan, dan kesenian adalah cara terampuh dalam mengobati penyakit mental tersebut. Di mana puisi yang juga salah satu seni, telah menjadi alternatif bagi individu masarakat urban untuk mencari kesakralan seperti yang ditulis di atas. Maka oleh sebab itulah penyair-penyair Barat sangat antusias terhadap mitologi, dongeng dan fabel-fabel. Tetapi, dan sungguh memprihatinkan, bahwa penyair-penyair kita turut pula mengikuti Barat yang mengalami kemunduran. Di antara penyair-penyair Indonesia itu (jika melihat karya-karyanya) seperti Hasan Aspahani, Mardi Luhung dll. Dan koran-koran di Indonesia yang menerbitkan puisi di hari Minggu, ternyata menyambut baik akan itu, bukankah itu sebuah keganjilan? Bukannya kita membedakan puisi Barat dan Timur, tetapi kita hanya menjadikan Barat sebagai tolak-ukur dalam pencapain-pencapain kelimpahan makna dan bukan mengikuti kemundurannya.

Payakumbuh, 2007
Read more...

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 HALAMAN INDONESIA | Template Blue by TNB