Rabu,
Jun
10,

Ritual-ritual Mas Penyair

|

Mas Penyair dengan Secangkir Kopi di Pagi Hari

/1/
Mas Penyair ongkang-ongkang seperti biasa. Pagi juga berlalu biasa-biasa saja. Ada Mpok Leha yang lewat menawarkan jamunya. Tukang sayur yang semangat mendorong gerobaknya. Ada juga Pratiwi yang pergi sekolah sambil mengulur senyum termaut dengan menyapa, “Selamat pagi, Mas Penyair!” Dan Mas Penyair tak pernah jenuh melewatkan pagi dengan ongkang-ongkang di beranda rumah.

/2/
Mas Penyair senang menyeduh kopi di beranda. Terkadang siul-siul jika gula lagi tak ada. “Kopi akan tambah nikmat,” katanya. Dan Mas Penyair juga senang membeli bubuk kopi di kedai Pratiwi seperti biasa. Meski bubuk kopi yang disimpan dalam botol bekas susu kemasan masih belum seberapa habisnya. Dan Mas Penyair selalu senang. Apalagi Pratiwi yang mengambilkan bubuk kopinya. “Bubuk kopinya sudah habis lagi ya, Mas Penyair?” tanya Pratiwi. Dan Mas Penyair senang dengan setiap ucapan Pratiwi.

/3/
Di beranda Mas Penyair juga leluasa melihat atap rumah Pratiwi. Mas Penyair senang juga bangun kelewat pagi. Melihat jendela rumah di seberang apa masih hidup lampunya. Dan Mas Penyair senang-senang saja memperkirakan kalau Pratiwi lagi mengeliat-ngeliat atau menguap-nguap di pembaringannya sambil melupakan mimpi yang baru saja dijalani dengan apa adanya. Lalu Mas Penyair melaksanakan ritual paginya dengan menyeruput seduhan kopinya yang dari detik ke menit semakin kurang hangatnya. Dan Mas Penyair memastikan juga ingatannya ketika seruputan terakhir dengan bergumam, “Pratiwi baru saja berangkat ke sekolah.”


Mas Penyair yang Berjalan Malam-malam

/1/
Mas Penyair juga senang kepada malam. Mas Penyair jadi suka jalan-jalan. “Sebagai bentuk penghormatan,” katanya.

/2/
Malam-malam Mas Penyair berjalan-jalan di taman-taman kota. Bersiul-siul sekadarnya meski sering dipanggil waria yang mangkal dengan penuh pesona. “Hutang dulu juga tak apa-apa, Mas Penyair!” Mas Penyair senyum-senyum saja sembari berkata, “Lain kali saja, sajak-sajak juga buru-buru memanggil saya. Maaf ya!”

/3/
Mas Penyair juga berjalan-jalan di trotoar kota. Baginya segala yang berpijar-pijar di depan mata akan selalu bernama bintang. Namun anggapan yang dimiliki oleh Mas Penyair itu entah sejak kapan pula menghilang. Dan Mas Penyair juga tidak perlu lagi repot-repot membikin tangga yang rencananya digunakan untuk menggapai bintang di langit karena cita-cita pernah digantungkan seketika kanak di sana. Serta, tentu Mas Penyair berterima kasih sekali kepada banyak manusia yang menciptakan bintang-bintang yang dapat berjalan seenaknya sembari mengendarai kendaraan dengan klakson terdahsyatnya.

Payakumbuh, Mei 2009

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 HALAMAN INDONESIA | Template Blue by TNB