Cuplikan Dongeng

|

Taman Puteri Malu

/1/
Pangeran tak juga datang seperti yang diduga Puteri. Dan Sang Puteri pun mengurung diri di puri: menanam duri untuk Pangeran mengerti betapa menusuknya terkurung sepi. Tetapi Pangeran tak dapat menemui Puteri. Sebab Sang Puteri memagar puri dengan duri, memagar sepi berkali-kali.

/2/
Sang Puteri mewarnai hidup dengan rindu. Menunggu Pangeran dan menuntaskan kasih asmaranya bersama angin, hujan—yang membuatnya malu ketika disentuh. Lalu Sang Puteri lekas-lekas mengatup diri—sampai terkikis rasa perih—karena angin dan hujan tertusuk duri ketika menyentuh Sang Puteri.

Angin dan hujan membiarkan dirinya tertusuk berkali-kali, sebab kasih asmara Sang Puteri akan malu-malu mengatup diri ketika kerinduannya disentuh.



Hujan

Dan selendang Sang Puteri diterbangkan angin ke Bumi. Namun Sang Pangeran selalu menunggu Puteri di puri. Menunggu kabarnya rindu, kabar malu, kini ranum dibuahi waktu. Kerajaan langit turut berduka kepada Sang Puteri. Duka tak turun ke bumi, tak dapat bertemu Pangeran di puri.

Sang Puteri pun menangis disebabkan rindu, lalu kerajaan langit menurunkan tangis Sang Puteri untuk jatuh di puri. Pertanda—Pangeran dapat memahami dan mencari selendang Sang Puteri. Tetapi Sang Pangeran sudah terlanjur mencintai hujan, mencintai airmata Sang Puteri tanpa tahu ada kisah yang terkubur bersama jatuhnya—seperti basahnya.



Embun

Sang Puteri pun turun ke Bumi: mendekap erat di urat daun, dan menebar dingin yang ranum. Namun Pangeran tak mengenali Sang Puteri yang sembunyi.
Dengan sepenuh rindu yang menyetubuhi, Sang Rindu pun membiarkan tubuh Sang Puteri menjadi embun. Pangeran tak juga tahu apa yang mendekap di urat daun,
lalu Sang Malu menguapkan embun ke panasnya penungguan (ke unggun?).



Hutan Bambu

Namun Pangeran telah tersesat di hutan bambu. Sambil menahan ngilu di atas batu, Pangeran menebang sebatang bambu untuk suling penawar rindu. Sang Puteri tak juga jenuh menunggu—menunggu sesaknya malu, sesaknya waktu yang memburu.

Janji Pangeran pun sudah lewat dari hari ketujuh. Lalu Sang Puteri mendendangkan rindu—tanpa mengetahui alunannya berasal dari suling Pangeran—yang membuat tangis burung malam berhenti sebab tak jadi ke Bulan. Seperti tujuh lubang di suling bambu, pertanda tujuh sesal yang membunuh.



Sang Puteri dengan Ikan-ikan

Akhirnya Sang Puteri menemukan Pangeran di sebalik batu-batu. Menuntaskan rindu yang dikutuk seperti batu, seperti malu yang bercipratan teramat gagu. Ada mata air yang membersit di tubuh-batu Pangeran, mata air yang mengalir dari airmata kutukan:
Menunggu ampunan yang dikubur ibu di perut ikan. Namun ikan telah bersarang di sebalik tubuh-batu Pangeran, di sebalik batu kerinduan.



Capung-capung dalam Tubuh Sang Puteri dan Pangeran

Namun Sang Puteri dan Pangeran memilih capung jadi kutukan. Dan Pangeran pun diam menunggu Sang Puteri menutur kisahnya. Lalu Sang Waktu menumbuhkan sayap di kedua lengan Pangeran dan Sang Puteri. Sebab rindu keduanya sudah lama mematung di pintu waktu, maka Pangeran dan Sang Puteri pun terbang guna saling mengungkap hasrat, karena waktu tak pernah bicara pada rindu yang gagu.


Payakumbuh,Oktober 2006--2009

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 HALAMAN INDONESIA | Template Blue by TNB