Saksi

|

1. Penyair Ook Nugroho

Mungkin saja kau butuh ruang: mencari teduh buat keluh untuk saling ketemu dalam ngilu dan gigil pada setiap celahnya. Namun pintu itu selalu saja seperti melawanmu mati-matian ketika kau membukanya. Padahal kau tak ingin bermusuhan, hanya saja sekedar mengintip siapa gerangan yang disekap di dalam ruang. Tetapi sunyi acap melahirkan bunyi yang tak pernah mati sampai menemani pada hari kaumati. Dan kau pun mencari siapa saya yang ada entah di mana. Mungkin di antara kesiur angin, tapi kau tak cukup yakin. Yang tak dapat dilacak pada sajak, tak ada dalam bahasa, ataupun dalam kamus yang kubaca. Tetapi lewat lubang kata, celah sempit tersembunyi rahasia. Tempat kau meraba gerak segala isyarat alam semesta yang bagai tak sengaja kautulis di ujung baris puisi. Namun salib kata itu selalu setia kaupanggul seperti Isa, yang telah kauhasratkan bulat, membiarkan rindu
menyesahmu di puncak baris.

Tetapi tikaman lembut pada lambungmu telah merampungkan ziarah oleh waktu.
Dan waktu adalah bapakmu, pun ruang adalah ibumu yang konon mereka bertemu
di simpang lengang dan melahirkan kau sebagai bebuah waktu yang tak tentu melanglang dalam tawanan ruang.

2. Penyair Gunawan Maryanto

Tumpukan batu yang memanggilmu membuat perkara itu tak pernah selesai. Mengapa pula selamat jalan yang kau ucapkan? Padahal mereka selalu saja menunggumu sejak berabad yang lalu. Tapi arca asu Rakai Kayuwangi
mirip benar denganmu, seperti lelaki yang datang setelah seribu tahun kematiannya
dan menghancurkan seluruh rumahnya. Namun kau kembali datang setelah seluruh hal, seluruh ihwal, majal, dan cinta yang gagal untuk meninggalkan sumur yang kering dan tak dalam. Kau pun membelah sawah dengan berlari sedikit sakit,
sekali jatuh ke parit, namun dia menyelam dan diam dalam kedalaman. Yang tak pernah kau tahu bahwa dia mengingatmu, merasa kehadiranmu akan sesuatu. Tetapi kini orang-orang datang memohon gambar pohon, dan kau jatuh cinta sekali lagi
pada ranting keringnya, pada keras dan getasnya, pada padang pasir yang mereka bebat dengan kain di tempat terbuka.

Namun hanya jamur dalam sumur, dan andesit sakit berupa hijau tua yang tak menunjukkan apa-apa. Tetapi jatuh cintamu sekeras penolakkanmu pada ranting dan padang pasir, pada keras dan rapuh, pada angina yang menghadirkan bau tubuhnya.
Seperti masa lalu, kau pun mirip pemijit buta yang dapat mencengkram bahu. Tetapi itu hanya perkara lama dan tak pernah selesai. Ataupun sebelum seluruhnya lahir dan berakhir, kau telah mencium harum bayi yang meruap dari pori-pori kulitnya. Lalu kau pun memutuskan untuk menjauh supaya tak ada yang celaka.
Sebab kesepianmu belum usai yang dapat mengancam dan berbahaya.
3. Penyair Hasan Aspahani

Bagimu, puisi pertama adalah tangis Hawa, dan linangan air mata kasihnya pun berjatuhan di negeri surga. Bertumbuhkan jadi melati, mawar, ataupun kenanga yang dikenang Bapa Adam saat malam pertamanya diusir Tuhan ke dunia yang tak sempat menikmati nafsu di surga. Namun, berhari-hari hanya bermuram diam. Bunda Hawa pun memetiki pucuk-pucuk rindu dan mengunyah-ngunyah daun penyesalannya. Sesuatu daun yang berasal dari sebatang kuldi pohon pernah dililit ular yang dulu memperdaya Bunda Hawa. Kuldi pohon segera mati setelah buah pertamanya dipetik Bapa Adam. Sisik-sisiknya menjadi daun pedas yang kini disebut sirih. Bunda Hawa sempat memetiknya beberapa lembar sebelum ia menjejakkan kaki di dunia dan menanamnya sebagai isyarat perih dan sesal. Bunda Hawa pun mengunyah daun itu
untuk pengusir mual yang dikarenakan sesal teramat dalam. Tapi itulah tangis pertama yang menyendukan malam, yang kelak dipersembahkan Bunda Hawa
kepada Bapa Adam seorang. Sebagai tanda pahitnya rindu yang selalu bertahan diam.
Namun kini kau menyuruhku menyiapkan tubuh untuk dapat kau wawancarai. Tentang tanya soal waktu apakah dapat menipu rindu di mataku. Tetapi kau belum menemukan waktu di tubuhku, dan tak dapat pula memahami hakikat waktu. Maka kau pun memotretku sebagai siasat untuk dapat mengelabui usia. Tetapi kau lebih sering terpedaya oleh waktu. Kau pun ragu. Masihkah ada yang belum tertutupi oleh dusta. Kau kecewa. Sebab aku pun diam-diam mencuri potretmu ketika kau mempersiapkan dusta di depan kacaku.


Payakumbuh, Oktober 2006--2009

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 HALAMAN INDONESIA | Template Blue by TNB