Merujuk pada Psikoanalisa

|

Sigmun Freud mengatakan bahwa kejadian yang ditangkap oleh indra akan mengendap di alam bawah sadar. Dan tubuh yang menjalani kenyataan akan mengalami mimpi-mimpi dari pernyataan alam bawah sadar itu untuk pemenuhan hasrat yang tak tersampaikan, dan hal itu akan terbukti dari 20% kapasitas tidur telah dipenuhi dengan mimpi, sungguhpun tidak disadari ketika bangun.

Namun teori Freud akan penganalisaan alam bawah sadar telah menumbuhkan aliran "Romantik" di Perancis. Yaitu sebagai penolakkannya terhadap kaum berjuis akan kemapanannya baik di bidang seni rupa, sastra, budaya, ataupun politik. Sebagaimana yang diketahui, bahwa Andre Breton telah muncul mempelopori gerakan itu.
Tetapi sebelum membahas aliran Romantik lebih jauh, ada beberapa hal yang harus dijabarkan dari pengaruh filsafat Freud terhadap perkembangan sastra. Di mana penggalian alam bawah sadar dari Freud telah menumbuhkan surealisme pada tahun 1924 di Perancis. Di mana Andre Breton di dalam "manifesto surealis"nya menyatakan bahwa kesenian harus berasal dari alam bawah sadar. Namun surealisme juga menumbuhkan sayap, seperti simbolisme dan romantisme.

Simbolisme dapat diketahui dari karya-karya Sitor Sitomorang di Indonesia dan Arthur Rimbaud di Perancis. Di mana puisi-puisinya dinyatakan dalam simbol-simbol, seperti: Malam Lebaran, judul puisi Sitor Sitomorang, dengan larik: Bulan di atas kuburan.
Walaupun demikian halnya simbolisme, namun ada hal bila mengkaji romantisme, di mana aliran ini sangat berkembang di kesasteraan dan seni rupa serta musik.

Romantisme yang merujuk pada filsafat freud, akan mencari-cari dan menghanyutkan perasaannya untuk menggali alam bawah sadar. Tidak heran jika Lugwid Van Beethoven yang terganggu pendengarannya dan buta dapat memainkan musik dengan instingnya. Namun hal ini dapat dipertanyakan kembali, bahwa, seberapa jauhkah insting dapat bertahan di dalam diri untuk dapat romantis?

Jika perlu diketahui, bahwa pengikut romantisme banyak mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri di Perancis. Sebagaimana insting dan kepekaan rasa akan terus berkurang seperti usia. Dan nasib tragis pun, banyak dialami oleh penganut romantisme yang mengakhiri hidupnya pada usia tak lebih dari tigapuluh tahun.

Meski romantisme mengembar-gemborkan slogan "seni untuk seni", namun hal itu sangat bertentangan bila dihubungkan dengan apa yang dikatakan Remy Sylado, bahwa "seni itu berada ditelapak kaki, bukan dijunjung di kepala". Tetapi bagaimanapun, romantisme telah melepaskan Perancis dari kukungan Raja Lois VI—dengan penyerangan ke penjara Bastille—dan membawa Perancis pada revolusi.

Namun di antara aliran simbolisme dan romantisme, telah melahirkan aliran imajisme di London. Dan di antaranya ada Wiliam Butle Yeats sebagai pelopor.

Imajisme berkembang di awal abad 20, dengan pembaharuan dalam kesasteraan tentang "pengambilan ide-ide dari mitos-mitos dan legenda. Baginya, "semakin jauh bentangan waktu dan jarak, maka semakin baguslah puisi". Tidak heran jika di dalam puisi-puisinya banyak ditemukan mitos-mitos Yunani, dan legenda-legenda yang bertebaran banyak di seluruh dunia. Namun saat ini, ada yang mesti terlontar dari pertanyaan, bahwa "Mengapa tidak menulis cerita rakyat saja, bukankah banyak bentuk prosa yang menampung akan itu?"

Meskipun banyak aliran yang berkembang saat bersamaan di Eropa dan sesudahnya, namun ada beberapa hal yang perlu dikaji lebih jauh akan romatisme tersebut. Bahwa hal itu telah berkembang pula di Indonesia sendiri, dan itu dapat lihat dari karya-karya Cecep Syamsul Hari, misalnya, Djamal D. Rahman, Chahjono Widianto, dan juga Iyut Fitra yang terbungkus pada puisi-puisi awalnya dan yang di dalam buku kumpulan puisi Musim Retak-nya. Namun pada puisi-puisi terakhirnya, jelas, sangat berbeda akan itu.
Dan bila romantisme telah jauh ditinggalkan di dalam perkembangan kesasteraan Eropa, mengapa hal itu tetap saja diikuti di kesasteraan Indonesia? Tapi bagaimanapun, mengikuti perkembangan pemikiran zaman sendiri terasa lebih maksimal untuk berkreatif. Bukankah Anda juga merasakannya demikian?

Payakumbuh, September 2006—14 April 2007
Read more...

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 HALAMAN INDONESIA | Template Blue by TNB