Etika dan Keberbagaiannya

|

Socrates

Socrates salah satu manusia yang paling bahagia di dunia. Meski ia memiliki pisik tubuh yang pendek, bentuk hidung yang bulat dan besar, pipi tembem dan perut gendut serta matanya yang tersembul keluar, namun Socrates seorang berbudi luhur, jujur, adil, sederhana, berterus terang, periang, tidak memilih teman, tenang, tangkas serta humoris. Ia suka berjalan di sepanjang alun-alun kota Athena untuk mempelajari tingkah laku manusia. Dan ia suka bertanya kepada siapa yang ditemuinya. Baik kepada pedagang-pedagang pasar, budak-budak, politisi ataupun masyarakat umum. Dan sebuah guyonan yang tak hilang sepanjang masa tidak lain sebuah ucapan “Sesekali janganlah kau pernah bertemu dengan Socrates jika kau tak keberatan dipermalukan di depan umum”. Dan ketika siapa pun bertanya mengapa ia tidak pernah bepergian keluar kota, maka ucapan yang keluar dari mulut Socrates adalah “Pohon-pohon dan padang rumput di desa-desa tidak pernah mengajari saya apa-apa”.

Socrates lahir di Athena pada tahun 470—399 SM dengan ayah seorang pembuat patung dan ibunya seorang bidan. Dalam menerima pendamping hidup pun ia juga tidak termasuk beruntung. Istrinya bernama Xantippe, konon seorang wanita yang judes. Namun Socrates memilki metode dialektika tersendiri dalam membuktikan kebenaran filsafatnya yang objektive. Sebab metode dialektika ini lahir karena ajaran kaum sofisme yang mengatakan bahwa kebenaran itu relative.

Dalam pelaksanaan metode dialektika, Socrates bertanya kepada semua kalangan. Dan dari sini maka akan ditemukan pengetahuan itu berupa “bentuk umum” dan “bentuk khusus”. Dan Aristoteles sesudahnya mengemukakan dasar pengetahuan tersebut sebagai “induksi” dan “definisi”. Hasil pengetahuan ini dapat dicontohkan pada saat sekarang seperti pembuatan baju. Yang mana kita cukup mengatakan modelnya saja kepada tukang jahit. Sebab pengetahuan umum tentang model baju yang kita pesan telah merata pada semua orang. Dan itu “bentuk umum”. Sedangkan “bentuk khusus”-nya agar diketahui oleh tukang jahit berapa ukuran leher, lingkar badan, tentu si tukang jahit harus mengukurnya langsung.

Etika Socrates ialah “budi adalah tahu”. Bagi siapa yang mengetahui tentang kebijakan, maka dengan sendirinya akan terpaksa melakukan kebajikan. Dan menurut Socrates, definisi tidak diperuntukkan untuk ilmu pengetahuan saja melainkan untuk kebutuhan etika.

Dan yang teramat penting, Sokrates meyakini bahwa akal budi adalah citra Tuhan yang diturunkan kepada manusia. Tentu hal ini akan membuat kepercayaan masyarakat Yunani yang telah ada akan menjadi kacau. Dengan suara minoritas dalam majelis dalam pengadilan untuk Socrates, maka Socrates dijatuhi hukuman meminum racun getah cemara. Meskipun begitu, Socrates masih diberi pilihan jika bersedia meninggalkan Athena. Namun alternative tersebut tidak diterima Socrates karena memang begitulah sebuah kebenaran harus dijalankan. Dengan bahagia, Socrates meminum racun getah cemara di hadapan teman-temannya.

Sedikit tentang Etika

Etika berasal dari kata Yunani, yaitu “ethos”. Dalam arti secara luas adalah “kebiasaan”. Etika salah satu cabang filsafat. Secara garis besar dapat dikelompokkan atas:

Pertama, Etika Deskriptif. Yakni ilmu yang mendiskripsikan tentang perilaku-perilaku dan keyakinan-keyakinan moral.

Kedua, Metaetika. Sebuah etika yang memfokuskan pada analisis makna, seperti makna kebebasan, hak, tanggungjawab, dsb.

Ketiga, Etika Normatif Umum. Yaitu etika yang memformulasikan dan melestarikan dasar-dasar aturan kehidupan moral.

Keempat, Etika Terapan (khusus). Yaitu menurunkan prinsip etika abstrak umum untuk segala masalah etika.

Bentuk-bentuk Etika

Suatu hari ketika Sokrates menyusuri alun-alun, tentu didampingi seorang muridnya Plato yang tampan, punya daya tutur yang sopan dan bersuara halus serta berbakat dalam sastra, Socrates pun menyuguhkan pertanyaan (tentu dengan suara halus dan sopan pula) akan “Apa hal terbaik untuk manusia?” dan para “hedonis” menjawab dengan kata “kesenangan”. Hal terbaik yang dilakukan manusia adalah dengan memuaskan kesenangan dan kenikmatan di dalam diri.

Adapun bentuk-bentuk dari etika di antaranya:

Pertama, Hedonisme. Berkembang di Yunani dan dipelopori oleh Aristippos (433—355 SM), juga murid Socrates. Yang beretika bahwa hal terbaik bagi manusia adalah mencari kesenangan namun tidak terbawa arus olehnya. Dan tokoh lain adalah Epikuros (341—270 SM) yang memimpin sebuah sekolah filsafat di Athena.

Kedua, Eudaimonisme. Dirintis oleh Aristoteles (384—322 SM). Etikanya berbunyi di dalam bukunya “Nicomedian Ethics” bahwa manusia mengejar suatu tujuan, sedangkan tujuan tertinggi dalam hidupnya adalah kebahagiaan. Maksud Aritoteles berdasarkan bukunya bahwa mencapai tujuan terakhir apabila manusia telah menjalankan manfaatnya dengan baik maka ia akan mendapat kebahagian.

Ketiga, Utilitarianisme. Dipelopori oleh David Hume (1711—1776) dan disempurnakan oleh Jeremy Bentham (1748—1832). Etika ini digunakan untuk memperbaharui hukum Inggris. Pikirannya berbunyi (Hume) bahwa perbuatan harus dinilai baik atau buruk selama masih memberikan manfaat atau merugikan sebanyak orang mungkin. Namun Betham menyempurnakan dengan keabsahan moral terletak pada kesenangan melebihi ketidaksenangan secara kuantitatif. Dan ini dapat diperhitungkan secara matematis dan statistik. Dan ini termasuk Utilitarianisme Klasik. Sedangkan Ultitarianisme Aturan dikemukan oleh Stephen Toulmin. Ia menegaskan bahwa prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas satu perbuatan melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan. Dengan argumennya, “Apakah aturan moral yang menepati janji menyumbangkan paling banyak kebahagian untuk banyak orang?”. Namun filosof Richard B. Brand mengusulkan supaya bukan aturan moral satu demi satu, melainkan seluruh aturan moral yang diuji dengan prinsip kegunaan.

Emanuel Kant (1724—1804)

Kant seorang filosof moral terbesar dan terakhir sepanjang sejarah. Ia mengemukan bahwa “bertindaklah sehingga prinsip dari kehendakmu dapat diberlakukan sebagai prinsip yang menciptakan “hukum universal”. Ada pun dari prinsip tersebut adalah:
Pertama, Prinsip Otonomi. Maksudnya penghormatan kepada pribadi. Jadi sebelum memberikan pilihan moral, latar belakang pelaku harus dipertimbangkan dan diperhatikan.

Kedua, Prinsip Kemurahan Hati. Prinsip ini mengemukan untuk tidak menyakiti orang lain dan berusaha membantu.

Ketiga, Prinsip Keadilan. Dasar prinsip ini berupa keadilan individu ataupun sosial telah diberlakukan adil jika ia telah diberikan apa yang ia janjikan, apa yang seharusnya ia dapatkan atau mampu secara absah mengklaimnya.

Payakumbuh, 24 Mei 2009

Daftar Pustaka:
Dr. M. Solihin, M. Ag
Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik hingga Modern
Drs. Rizal Mustansyir M. Hum dan Drs. Misnal Munir M. Hum
Filsafat Ilmu
Gaarder, Jostein
Dunia Sophie

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 HALAMAN INDONESIA | Template Blue by TNB