Kunang-kunang di Sebuah Malam

|

Lampu-lampu yang jauh di perumahan bekerlap-kerlip. Ia terus melangkah. Mendendang-nendang kerikil dan sesekali langkahnya terhenti menyaksikan serangga kecil yang hampir tergilas oleh sepatunya. Tak ada yang aneh, memang, tapi peristiwa-peristiwa kecil dalam keseharian kembali mengusik kemanusiaannya dan tiba-tiba saja ia rindu untuk menangis.

Lampu-lampu terus bekerlip. Semakin jauh terlihat seperti kunang-kunang dan ia ingin menangkapnya untuk dimasukkan ke dalam botol kaca yang masih disimpannya sebagai saksi masa kanak. Lalu berlari ke arah Ibu sembari merapikan rambut klimisnya dan berkata, “Bu, saya sudah dewasa!” Ibu akan tertawa setiap mendengar celotehan anaknya meski airmata tak tahunya sudah mengalir lalu lekas-lekas melepas rangkulannya dan membiarkan anaknya membuka jendela semalaman untuk bermimpi dengan kunang-kunang. “Tapi belum ada yang berubah”, pikirnya, kerlap-kerlip lampu di kejauhan pun membentuk wajah Ibu dan melambai-melambai menyuruh lekas tidur dan tak boleh bermain kunang-kunang malam ini.

Ia semakin jauh melangkah. Kerlap-kerlip lampu semakin asing. Kerikil-kerikil jalan tak lagi mengenal derap langkahnya. “Ke mana kaupergi, Sayang?” bisiknya, meski helai-helai uban terus tumbuh dengan malu dan di kejauhan pun lagu ringkik serangga mengingatkannya pada suatu tempat entah di mana. Di mana sungai-sungai mengalir hening, angsa-angsa memadu kasih, cahaya-cahaya akan membuat siapa saja terpesona dan tak akan sanggup berpaling.

Kunang-kunang terus beterbangan dalam kenangan. Lalu ia membayangkan sedang apa penghuni rumah yang selalu saja menjadi kunang-kunang itu, dan ia berusaha untuk tidak menangis. Mungkin di salah satu rumah itu ada ibu yang memiliki anak wanita yang cantik, manis, pendiam dan manja. Mungkin namanya Lala, Luchy atau Raysa. Sedang apa ia? Apa sedang menangis di tempat tidurnya karena tak kesampaian cinta pertama? Namun tiba-tiba ia teringat Ibu. Dan kerlap-kerlip lampu di kejauhan semakin nyata menjadi kunang-kunang. Ia berlari di keremangan dan terus menangis mengejar suara di kejauhan. Pulang! Pulanglah, Sayang!

Payakumbuh, 2008

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 HALAMAN INDONESIA | Template Blue by TNB