Sutan Takdir Alisyahbana dan Chairil Anwar

|

Banyak orang boleh saja menganggap Chairil Anwar sebagai penyumbang terbesar bagi kesasatraan Indonesia modern, namun semua itu hanya penyambung dari usaha kerja keras Sutan Takdir Alisyahbana. Seperti main sepak bola, Chairil cuma menendang bola dari operan Takdir yang mati-matian mengarak dan mengecoh penjaga gawang lawan, dan di lain hal atas usaha Takdir, Chairil mendapat kesempatan mengubah skor permainan.

Takdir, pencetus gagasan pertama untuk mengubah bahasa dan sastra Indonesia. Meninggalkan kebudayaan lama yang berbau pantun dan bangkit dengan bahasa dan budaya modern. Di lain pihak, Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara menganggap tindakan Takdir sebagai hasil persekongkolan terhadap Belanda. Memang kekhawatiran Sanusi dan Ki Hajar atas pandangan sikap Takdir yang kelewat terburu-buru menduplikat Barat sangat beralasan, sebab bagaimanapun, seniman-seniman atau masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mempunyai pijakan dasar yang kuat atas kebudayaannya serta masih rendahnya tingkat pendidikan yang berkembang masayarakat.

Lagi-lagi, Takdir mengecam pendirian penganut tradisi lama yang ortodoks dan tradisionil. Takdir menyuarakan untuk membangun kebebasan kreatif yang demoktariv serta berpijak pada wawasan dan perpandangan universal. Namun sayang sekali, Lembaga Bahasa Pemerintah juga ikut-ikutan menghujat Takdir.

Dari segi karya, sajak-sajak Takdir memang masih ditulis dengan teknik subjektiv, namun dari segi gagasan dalam ruang teks, Takdir memiliki intituisi jenius. Memang harapan Takdir agar sajak-sajaknya dapat terlepas dari gaya bahasa lama tidak berhasil, namun dari cara bentuk menulis sajak yang meninggalkan soneta dan pantun, Takdir berhasil mengubah khazanah Sastra Indonesia Modern. Tentu, lagi-lagi harus menjadi duplikat Barat.

Jika Takdir demikian, bagaimana pula dengan Chairil?
Chiril hanya meneruskan cita-cita Takdir? Meski Chairil mati-matian menolak konsep Takdir (Chairil lebih menjunjung hukum universalitas), toh dari karya-karyanya tak ada bedanya. Bahkan dari segi gagasan dalam teks, Chairil harus hormat kepada Takdir. Chairil hanya menemukan bentuk pengucapan (dan sajak-sajak Chairil termasuk penyebab utama akan perubahan Bahasa Indonesia setelahnya).

Bagi masyarakat selain dan tidak mengetahui bahasa Minangkabau, gaya ucap dalam sajak-sajak Chairil memang menyentak dan punya sensasi tersendiri. Tapi bagi masyarakat Minangkabau apalagi Payakumbuh (kampung Chairil tidak sampai 10 km dari batas kota Payakumbuh) itu biasa-biasa saja, menurut saya. Penemuan bahasa yang diagung-agungkan Chairil, tidak lain hanya duplikat cara berbahasa di Minangkabau yang berkembang secara lisan. Dan di sini, Chairil memiliki kemampuan berbahasa Perancis, Inggris, Belanda, Indonesia dan bahasa Minangkabau.

Contoh bahasa Indonesia yang diubah ke bahasa Minangkabau lalu dikembalikan ke dalam bahasa Indonesia (dari penulis):



Pendayung telah hanyut ke ujung malam

Hanyuiknyo pandayuang ka ujuang malam

Hanyutnya pendayung ke ujung malam

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 HALAMAN INDONESIA | Template Blue by TNB